Secara hukum agama,
nikah sirri diakui secara sah sebagai akad pernikahan yang mengikat antara
kedua mempelai. Karenanya ketika nikah sirri dilakukan, maka praktis berlakulah
seluruh hak dan kewajiban suami istri. Banyak orang yang menyadari tentang hak
pasangan nikah sirri, semisal hak untuk berhubungan dan bersenang-senang, namun
tidak banyak yang menyadari tentang kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh
nikah sirri tersebut yang tak lain adalah kewajiban pernikahan secara umum
yakni nafkah lahiriah, sandang, pangan, papan dan mu’asyarah bi al-ma’ruf
(bergaul dengan baik) dari pihak suami serta pengabdian dan taatdari pihak
istri. Bila kewajiban-kewajiban tersebut dilalaikan, maka yang bersangkutan
akan mendapatkan dosa.
MOTIVASI KEBANYAKAN NIKAH SIRRI
Dikalangan pedesaan, acap kali fenomena nikah sirri dilakukan
diwaktu pertunangan. Motivasinya sederhana, yakni agar kedua anak yang
ditunangkan tidak berdosa ketika harus berduaan kesana kemari, kerumah para
kerabat mereka atau ketika menghadiriacara-acara adat. Para wali nikah dan
kedua mempelai enggan mencatatkan pernikahan tersebut ke KUA karena ada
kekhawatiran hubungan pertunangan itu batal di kemudian hari. Apabila
dicatatkan di KUA dan kemudian ternyata pertunangan batal, maka kedua mempelai
dan keluarga harus direpotkan dengan proses perceraian di pengadilan. Akan
tetapi bila cukup dengan nikah sirri, maka perceraian cukup terjadi secara
kekeluargaan tanpa memakan banyak waktu dan biaya. Atas pertimbanganseperti
itu, nikah sirri banyak dijadikan solusi bagi terhindarnya kedua pasangan dari
dosa dan sekaligus bagi kerepotn mengurus ini dan itu ketika harus gagal.
Motivasi sperti itu pada dasarnya baik karena berdasarkan sabda
Rasul Shallahu ‘alaihi wa sallam:
لان يطعن في راءس احد كم بمخيط من حد يد خيرله من ان يمس امراة لا تحل
له
Artinya: “Tertusuknya kepalamu dengan jarum dari besi, itu lebih
baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal bagimu” (HR at-Thabarani).
PROBLEMATIKA TUNANGAN NIKAH SIRRI
Pernikahan sirri yang seharusnya jadi solusi ini kerap meninggalkan
masalah serius ketika hubungan pertunangan yang di ikat dengan niakah sirri
tersebut benar-benar mengalami kegagalan. Apakh dengan gagalnya pertunagan
tersebut berarti dengan sendirinya ikatan perkawinan juga berakhir? Hal inilah yang sering luput
dari perhatian orang-orang, terutama masyarakat awam. Banyak anak gadis putus
tunangan langsung dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki tunangannya
selanjutnya tanpa pernah ada kata talak dari tunangannya yang pertama yang nota
bene adalah suami sahnya. Sang wali, begitu pula kebanyakan masyarakat awam,
menilai bahwa putusnya tunangan sama saja dengan jatuhnya talak.
Anggapan seperti ini tentu sangat keliru karena talak hanya bisa
jatuh bila sang suami menjatuhkan kata talak/seraikepada istrinya baik dengan
sharih (kata-kata cerai yang jelas) atau kinayah (kata-kata cerai yang samar)
yang disertai niat menceraikan. Tanpa kata cerai dari suami berarti ikatan
perkawinan belum usai dan si perempuan haram menikah dengan laki-laki lain
manapun karena masih berstatus sebagai istri sah. Bila perempuan tersebut tetap
saja menikah dengan laki-laki lain, maka akad nikahnya tidak sah dan hubungan
intim keduanya menjadi zina. Bila pernikahan semacam ini terjadi, maka baik si
perempuan dan walinya berdosa besar. Si suami baru dan penghulu yang menikahkan
juga dosa besar bila keduanya telah mengetahui bahwa si wanita belum dicerai.
Seandainya putusnya pertunangan yang dinikah sirri itu dari pihak
laki-laki, tentu masalahnya mudah, tinggal minta penjelasan pada si laki-laki
tersebut tentang status si perempuan, apakah sudah diceraikan ataukah belum.
Masalah menjadi sangat rumit tatkala putusnya pertunangan tersebut dari pihak
perempuan. Kalau saja sang suami mau menceraikan maka tidak ada masalah, namun
yang sering terjadi tidak demikian. Sang suami enggan menjatuhkan talak pada
istrinya karena dia tidak mau pertunangannya putu, tapi dipaksa untuk putus
dari pihak perempuan. Dalam kondisi semacam ini pihak keluarga perempuan
mengalami dilemma pelik, kalu mau terus menikah lagi dengan orang lain bisa menjadi
zina dan kalau menggugat cerai ke pengadilan dirasa tidak mungkin karena
pernikahannya sirri (tidak punya surat nikah) sedang si suami tidak mau
menceraikan.
Dalam keadaan seperti itu, akhirnya orang yang tidak mengerti
sering minta putusan cerai ke seseorang yang dianggap mampu menjadi pengganti
hakim, semisal kiai, tokoh masyarakat atau penghulu yang menikahkan. Praktek
tersebut salah Karena dalam hokum islam (Mazhab Syafi’i) yang boleh memberi
putusan cerai pada pasangan yang bermasalah hanyalah hakim resmi yang diangkat
oleh Negara. Orang lain tidak berhak untuk itu karena dipandang tidak ahlan
lil-qadha (tidak layak memutuskan perkara hokum).
SOLUSI
Kalau saja wanita yang melakukan nikah sirri memang tidak bisa
mendapat kata cerai dari suaminya (baik si suami oleh masyarakat disebut
sebagai suami atau sebagai tunangan sama saja), sedangkan dia tidak sanggup
lagi mempertahankan rumah tangganya, maka yang dapat dilakukan adalah meminta
itsbat nikah (penetapan pernikahan) kepengadilan agama agar pernikahannya diakui oleh Negara . setelah itu barulah
gugatan cerai dilakukan di pengadilan. Meskipun dirasa menyulitkan, tapi
langkah ini harus diikuti karena sudah menjadi konsekuensi dari nikah sirri.
Ini kalau pernikahan sirri sudah terlanjur dilakukan.
Seandainya pernikahan sirri belum terjadi tapi masih direncanakan,
maka resiko seperti ini bisa ditanggulangi dengan cara menyuruh sisuami ta’liq
talaq (talaq bersyarat) setelah akad nikah dilangsungkan. Ta’liq talaknya bisa
berupa ucapan “Jika suatu saat hubungan pertunangan saya dengan si fulanah
positif batal/gagal, maka jatuhlah satu talak saya untuknya”. Dengan ta’liq
seperti ini ,maka tatkala pertunangan memang positif gagal, secara otomatis
pihak perempuan tertalak satu sehingga tidak memerluka kata talak lagi dan juga
tidak perlu cerai dipengadilan.[]
Disadur dari bulletin al-Bayan
Edisi fikih-Sosial
Edisi 4 | 5 Jum. Akhir 1433 | 27 April 2012
Judul asli Problem Nikah Sirri dalam Pertungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar