croPLUS: Problematika Seputar Nikah SIRI

Bagi warga Indonesia, nikah siiri bukan suatu hal yang asing didengar. Nikah sirri atau pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi di KUA banyak dilakukan karena berbagai alas an, mulai dari alas an yang baik semisal agar terhindar dari maksiat sewaktu proses pertunangan, sampai alas an yang tidak baik semisal agar tidak terkena tuntutan hokum ketika nanti salah satu pihak pergi meninggalkan pasangannya tanpa tanggung jawab.

Secara hukum agama, nikah sirri diakui secara sah sebagai akad pernikahan yang mengikat antara kedua mempelai. Karenanya ketika nikah sirri dilakukan, maka praktis berlakulah seluruh hak dan kewajiban suami istri. Banyak orang yang menyadari tentang hak pasangan nikah sirri, semisal hak untuk berhubungan dan bersenang-senang, namun tidak banyak yang menyadari tentang kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh nikah sirri tersebut yang tak lain adalah kewajiban pernikahan secara umum yakni nafkah lahiriah, sandang, pangan, papan dan mu’asyarah bi al-ma’ruf (bergaul dengan baik) dari pihak suami serta pengabdian dan taatdari pihak istri. Bila kewajiban-kewajiban tersebut dilalaikan, maka yang bersangkutan akan mendapatkan dosa.


MOTIVASI KEBANYAKAN NIKAH SIRRI

Dikalangan pedesaan, acap kali fenomena nikah sirri dilakukan diwaktu pertunangan. Motivasinya sederhana, yakni agar kedua anak yang ditunangkan tidak berdosa ketika harus berduaan kesana kemari, kerumah para kerabat mereka atau ketika menghadiriacara-acara adat. Para wali nikah dan kedua mempelai enggan mencatatkan pernikahan tersebut ke KUA karena ada kekhawatiran hubungan pertunangan itu batal di kemudian hari. Apabila dicatatkan di KUA dan kemudian ternyata pertunangan batal, maka kedua mempelai dan keluarga harus direpotkan dengan proses perceraian di pengadilan. Akan tetapi bila cukup dengan nikah sirri, maka perceraian cukup terjadi secara kekeluargaan tanpa memakan banyak waktu dan biaya. Atas pertimbanganseperti itu, nikah sirri banyak dijadikan solusi bagi terhindarnya kedua pasangan dari dosa dan sekaligus bagi kerepotn mengurus ini dan itu ketika harus gagal.
Motivasi sperti itu pada dasarnya baik karena berdasarkan sabda Rasul Shallahu ‘alaihi wa sallam:
لان يطعن في راءس احد كم بمخيط من حد يد خيرله من ان يمس امراة لا تحل له
Artinya: “Tertusuknya kepalamu dengan jarum dari besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal bagimu” (HR at-Thabarani).

PROBLEMATIKA TUNANGAN NIKAH SIRRI

Pernikahan sirri yang seharusnya jadi solusi ini kerap meninggalkan masalah serius ketika hubungan pertunangan yang di ikat dengan niakah sirri tersebut benar-benar mengalami kegagalan. Apakh dengan gagalnya pertunagan tersebut berarti dengan sendirinya ikatan perkawinan  juga berakhir? Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang-orang, terutama masyarakat awam. Banyak anak gadis putus tunangan langsung dinikahkan oleh walinya dengan laki-laki tunangannya selanjutnya tanpa pernah ada kata talak dari tunangannya yang pertama yang nota bene adalah suami sahnya. Sang wali, begitu pula kebanyakan masyarakat awam, menilai bahwa putusnya tunangan sama saja dengan jatuhnya talak.
Anggapan seperti ini tentu sangat keliru karena talak hanya bisa jatuh bila sang suami menjatuhkan kata talak/seraikepada istrinya baik dengan sharih (kata-kata cerai yang jelas) atau kinayah (kata-kata cerai yang samar) yang disertai niat menceraikan. Tanpa kata cerai dari suami berarti ikatan perkawinan belum usai dan si perempuan haram menikah dengan laki-laki lain manapun karena masih berstatus sebagai istri sah. Bila perempuan tersebut tetap saja menikah dengan laki-laki lain, maka akad nikahnya tidak sah dan hubungan intim keduanya menjadi zina. Bila pernikahan semacam ini terjadi, maka baik si perempuan dan walinya berdosa besar. Si suami baru dan penghulu yang menikahkan juga dosa besar bila keduanya telah mengetahui bahwa si wanita belum dicerai.
Seandainya putusnya pertunangan yang dinikah sirri itu dari pihak laki-laki, tentu masalahnya mudah, tinggal minta penjelasan pada si laki-laki tersebut tentang status si perempuan, apakah sudah diceraikan ataukah belum. Masalah menjadi sangat rumit tatkala putusnya pertunangan tersebut dari pihak perempuan. Kalau saja sang suami mau menceraikan maka tidak ada masalah, namun yang sering terjadi tidak demikian. Sang suami enggan menjatuhkan talak pada istrinya karena dia tidak mau pertunangannya putu, tapi dipaksa untuk putus dari pihak perempuan. Dalam kondisi semacam ini pihak keluarga perempuan mengalami dilemma pelik, kalu mau terus menikah lagi dengan orang lain bisa menjadi zina dan kalau menggugat cerai ke pengadilan dirasa tidak mungkin karena pernikahannya sirri (tidak punya surat nikah) sedang si suami tidak mau menceraikan.
Dalam keadaan seperti itu, akhirnya orang yang tidak mengerti sering minta putusan cerai ke seseorang yang dianggap mampu menjadi pengganti hakim, semisal kiai, tokoh masyarakat atau penghulu yang menikahkan. Praktek tersebut salah Karena dalam hokum islam (Mazhab Syafi’i) yang boleh memberi putusan cerai pada pasangan yang bermasalah hanyalah hakim resmi yang diangkat oleh Negara. Orang lain tidak berhak untuk itu karena dipandang tidak ahlan lil-qadha (tidak layak memutuskan perkara hokum).

SOLUSI

Kalau saja wanita yang melakukan nikah sirri memang tidak bisa mendapat kata cerai dari suaminya (baik si suami oleh masyarakat disebut sebagai suami atau sebagai tunangan sama saja), sedangkan dia tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangganya, maka yang dapat dilakukan adalah meminta itsbat nikah (penetapan pernikahan) kepengadilan agama agar pernikahannya  diakui oleh Negara . setelah itu barulah gugatan cerai dilakukan di pengadilan. Meskipun dirasa menyulitkan, tapi langkah ini harus diikuti karena sudah menjadi konsekuensi dari nikah sirri. Ini kalau pernikahan sirri sudah terlanjur dilakukan.
Seandainya pernikahan sirri belum terjadi tapi masih direncanakan, maka resiko seperti ini bisa ditanggulangi dengan cara menyuruh sisuami ta’liq talaq (talaq bersyarat) setelah akad nikah dilangsungkan. Ta’liq talaknya bisa berupa ucapan “Jika suatu saat hubungan pertunangan saya dengan si fulanah positif batal/gagal, maka jatuhlah satu talak saya untuknya”. Dengan ta’liq seperti ini ,maka tatkala pertunangan memang positif gagal, secara otomatis pihak perempuan tertalak satu sehingga tidak memerluka kata talak lagi dan juga tidak perlu cerai dipengadilan.[]


Disadur dari bulletin al-Bayan
Edisi fikih-Sosial

Edisi 4 | 5 Jum. Akhir 1433 | 27 April 2012

Judul asli Problem Nikah Sirri dalam Pertungan
BAGIKAN →

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jika Anda Menyukai Artikel-Artikel Di Blog Ini Silahkan Masukkan Email Anda Untuk Mendapatkan Update Blog Ini

Masukkan Email